Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan terkait Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2024 tentang Kabupaten Batanghari. Dalam putusannya, MK menegaskan bahwa penulisan “Batanghari” yang disambung tidak sesuai dengan konstitusi dan harus ditulis secara terpisah: “Batang Hari”.
Putusan ini dibacakan dalam sidang terbuka di Gedung MK, Jakarta, Selasa (27/5/2025), dan langsung dihadiri Bupati Batang Hari Fadhil Arief bersama tim hukum Pemerintah Kabupaten Batang Hari.
“Majelis hakim menyatakan, kata ‘Batanghari’ dalam undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, kecuali dimaknai sebagai ‘Batang Hari’,” jelas Dr Monang Sitanggang SH MH, kuasa hukum Pemkab Batang Hari yang menjadi Pemohon dalam perkara ini.
Monang mengatakan, gugatan ini diajukan lantaran penulisan nama daerah yang disambung dianggap mengabaikan aspek historis dan identitas budaya masyarakat. Menurutnya, secara etimologis dan sosiokultural, masyarakat mengenal nama kabupaten itu sebagai “Batang Hari”, bukan “Batanghari”.
“Nama ‘Batang Hari’ punya sejarah panjang. Itu bukan sekadar administratif, tapi menyangkut identitas. Kami bersyukur Mahkamah sejalan dengan argumen kami,” ujar Monang kepada wartawan usai sidang.
Ke depan, seluruh dokumen hukum, surat menyurat, hingga papan nama dan branding resmi pemerintah daerah harus menyesuaikan dengan penulisan yang benar, yakni “Kabupaten Batang Hari”, dengan pemisahan dua kata.
“Ya, setelah ini tidak ada lagi penulisan disambung. Resmi, penamaannya adalah Batang dan Hari. Dua kata,” tegas Monang.
Putusan MK ini sekaligus menjadi koreksi atas Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2024 tentang Pembentukan Kabupaten Batanghari di Provinsi Jambi, yang selama ini tercatat menggunakan versi penulisan tidak sesuai.
Bupati Fadhil Arief yang hadir langsung di persidangan menyampaikan apresiasinya terhadap putusan MK. Ia menegaskan bahwa langkah ini merupakan bentuk keseriusan pemerintah daerah menjaga marwah dan sejarah nama daerah.(*)
Add new comment