Satgas PKH Sudah Sita Ribuan Hektare Sawit Ilegal di Jambi, Berikut Daftar Lengkapnya!

WIB
IST

Tahun 2025, Satgas PKH menyita puluhan ribu hektare sawit ilegal di Jambi. Kasus besar terjadi di Tebo (13.890 ha milik 5 perusahaan), Muaro Jambi (2.500 ha PT Brahma Bina Bakti & plasma petani), Tanjabtim (1.800 ha lahan rakyat), hingga Sarolangun (ribuan ha sawit di HTI). Lahan sitaan diserahkan ke BUMN Agrinas untuk dikelola.

***

Pada tahun 2025, pemerintah membentuk Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) untuk menertibkan jutaan hektare kebun sawit ilegal yang berada di dalam kawasan hutan. Secara nasional, Satgas PKH telah menguasai kembali lebih dari 3,3 juta hektare kawasan hutan negara yang sebelumnya dimanfaatkan secara ilegal, terutama oleh perkebunan kelapa sawit tanpa izin.

Di Provinsi Jambi, upaya ini gencar dilakukan sejak awal 2025 sesuai Perpres No. 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan. Hasilnya, hingga pertengahan 2025, puluhan ribu hektare kebun sawit bermasalah di Jambi – baik milik perusahaan besar maupun perseorangan – telah disita atau disegel oleh Satgas PKH untuk dikembalikan kepada negara.

Tindakan penertiban ini menyasar lahan-lahan sawit yang berada di dalam kawasan hutan tanpa izin yang sah (tanpa Izin Usaha Perkebunan (IUP) maupun Hak Guna Usaha (HGU)), perkebunan sawit di area izin hutan tanaman industri (HTI) yang menyalahi peruntukan, serta lahan sawit yang tumpang tindih dengan hak ulayat atau klaim masyarakat.

Berikut kasus-kasus terkini (2024–2025) di seluruh wilayah Provinsi Jambi di mana lahan sawit ilegal telah diambil alih oleh Satgas PKH.

Penertiban Kebun Sawit Ilegal di Kabupaten Tebo

Kabupaten Tebo menjadi sorotan dengan penertiban kebun sawit ilegal skala besar oleh Satgas PKH pada awal Juli 2025. Dalam operasi selama dua hari (5–6 Juli 2025), Satgas PKH menyita 13.890 hektare lahan sawit yang terbukti berada di dalam kawasan hutan di Tebo.

Lahan seluas hampir 14 ribu hektare ini tersebar di 5 lokasi milik perusahaan perkebunan yang melakukan alih fungsi hutan secara ilegal (menanam sawit dalam kawasan hutan tanpa izin pelepasan kawasan). Lima perusahaan tersebut adalah:

  • PT Alam Bukit Tigapuluh (ABT) – Desa Balai Rajo, Kec. VII Koto Ilir – 2.012 ha kebun sawit dalam kawasan hutan.
  • PT Lestari Alam Jaya (LAJ) – Desa Semabu, Kec. Sumay – 6.596 ha.
  • PT Tebo Multi Agro – Desa Sungai Abang, Kec. VII Koto – 850 ha.
  • PT Wana Mukti Wisesa – Desa Balai Rajo, Kec. VII Koto Ilir – 826 ha.
  • PT Limbah Kayu Utama (LKU) – Desa Olak Kemang (Kec. Muara Tabir) & Desa Teluk Rendah Ilir (Kec. Tebo Ilir) – 3.606 ha.

Penyegelan lahan dilakukan dengan pemasangan papan/plang pengumuman bertuliskan “Tanah Ini Milik Negara” di tiap lokasi pada 4–5 titik strategis. Terhitung sejak pemasangan plang tersebut, kawasan sawit itu resmi diambil alih oleh negara.

Aktivitas apapun dilarang di lahan yang disegel, dan dijaga oleh tim terpadu (melibatkan Kejaksaan, TNI, Polri, BPKP, dan BPN) demi memastikan penegakan hukum.

Menurut Kajari Tebo, kelima perusahaan tersebut menanam sawit tanpa izin di dalam kawasan hutan produksi – perkebunan sawit tanpa izin IUP dan HGU di atas lahan negara. Tindakan ini melanggar hukum, sehingga lahannya disita untuk dikembalikan menjadi milik negara.

Ribuan hektare lahan sawit sitaan di Tebo ini selanjutnya diserahkan kepada BUMN PT Agrinas Palma Nusantara untuk dikelola. PT Agrinas (Agribisnis dan Pertambangan Nusantara) adalah BUMN baru yang ditugasi pemerintah mengelola aset perkebunan sawit negara hasil penertiban PKH. Dengan demikian, lahan sawit yang sebelumnya dikuasai secara ilegal oleh korporasi kini akan dimanfaatkan secara legal oleh negara.

Penyerahan kepada Agrinas tahap ini di Jambi merupakan bagian dari strategi nasional. Ketua Pelaksana Satgas PKH Febrie Adriansyah menyebut bahwa secara total 1,507 juta ha lahan sawit hasil sitaan sudah diserahkan ke PT Agrinas untuk dikelola secara profesional.

Adapun untuk lahan di Tebo, PT Agrinas akan mengelola kebun tersebut sebagai aset negara, dengan kemungkinan melibatkan petani plasma di kemudian hari (misalnya melalui skema kemitraan baru), sesuai arahan pemerintah pusat.

Penertiban Kebun Sawit dalam Kawasan Hutan di Kabupaten Muaro Jambi

Kasus PT Brahma Bina Bakti dan Plasma Petani (Kec. Sekernan)

Di Muaro Jambi, Satgas PKH menindak perkebunan kelapa sawit milik PT Brahma Bina Bakti (BBB) yang diduga merambah kawasan hutan produksi di Kecamatan Sekernan. PT BBB mengelola kebun sawit seluas lebih dari 2.500 hektare yang ternyata berada di dalam kawasan hutan negara.

Lahan ini terdiri dari kebun inti perusahaan (~280 ha) serta kebun plasma kemitraan yang dikelola bersama beberapa kelompok masyarakat di sejumlah desa (totalnya mencapai sekitar 2.220 ha). Selama puluhan tahun lahan tersebut sudah ditanami sawit, namun tanpa dilengkapi izin pelepasan kawasan hutan sehingga statusnya ilegal. Satgas PKH pun melakukan penyegelan lahan ini pada pertengahan 2025 (sekitar Juni–Juli 2025).

Menurut Satgas PKH, kawasan hutan seluas >2.500 ha yang dialihfungsikan secara ilegal oleh PT Brahma Bina Bakti itu berhasil dikembalikan ke negara melalui pemasangan plang penertiban. Sebagian besar lahan yang disita merupakan kebun milik plasma/mitra PT BBB yang tersebar di beberapa desa di Sekernan.

Salah satu lokasi spesifiknya adalah Desa Tanjung Lanjut, Kec. Sekernan, di mana sekitar 758 ha kebun sawit rakyat (milik 250 orang petani) dipasangi plang larangan oleh Satgas PKH pada Juli 2025. Warga Desa Tanjung Lanjut mengaku panik dan protes karena lahan sawit yang mereka garap puluhan tahun (dengan surat/klaim legal menurut mereka) tiba-tiba dipatok sebagai kawasan hutan sitaan negara. Kasus Tanjung Lanjut ini menunjukkan, Satgas PKH tidak hanya menyasar perusahaan besar, tetapi juga lahan sawit petani kecil (plasma maupun swadaya) yang berada dalam kawasan hutan.

Permasalahan utama yang melatarbelakangi penindakan di Muaro Jambi ini adalah perkebunan sawit tanpa HGU di atas lahan negara (kawasan hutan produksi). PT BBB diduga belum memiliki izin pelepasan kawasan hutan maupun HGU untuk areal tersebut. Sehingga kegiatan perkebunannya dinilai ilegal. Bahkan terdapat indikasi manipulasi dokumen oleh perusahaan.

Ketua Umum SPI Henry Saragih menyebut sering ditemukan modus korporasi nakal yang memakai nama warga untuk surat lahan demi menyembunyikan perambahan hutan. Namun di sisi lain, warga petani mengklaim sebagai pemilik sah lahan plasma dengan dokumen (SKT/sertifikat) yang mereka miliki.

Pemerintah desa sebenarnya telah mengajukan peta indikatif penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan ke Kementerian LHK sesuai UU Cipta Kerja, agar lahan kebun rakyat itu dapat dilegalisasi. Proses tersebut masih berjalan ketika Satgas PKH turun memasang plang tanpa sosialisasi.

Lahan-lahan sawit PT BBB (termasuk plasma masyarakat) kini dalam penguasaan negara di bawah Satgas PKH. Untuk sementara, petani diminta tidak melakukan aktivitas yang merusak atau memindahkan plang. Tapi mereka diizinkan memanen dan bercocok tanam seperlunya sambil menunggu solusi.

Satgas PKH menegaskan penertiban dilakukan hati-hati. Ada proses verifikasi data dan pemanggilan pihak perusahaan/koperasi sebelum penyitaan. Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) di DPRD Muaro Jambi tanggal 28 Juli 2025, perwakilan petani (didampingi LSM) menyuarakan penolakan jika lahan mereka disita negara begitu saja. Mereka menuntut kejelasan nasib lahan plasma yang sudah puluhan tahun menjadi sandaran hidup.

Pihak pemerintah memberikan sinyal solusi berupa skema kemitraan atau perhutanan sosial. Wakil Menteri Koperasi Fery Juliantono saat berkunjung ke Jambi, menyatakan siap memfasilitasi dialog Satgas PKH dengan masyarakat agar tidak salah sasaran.

Sementara itu, perwakilan PT Agrinas, Brigjen Purn. Nyoman, yang hadir di RDP tersebut menyatakan siap bermitra dengan petani lokal dalam mengelola lahan yang diambil alih. Artinya, ada kemungkinan lahan eks-plasma tersebut tetap digarap oleh petani tetapi di bawah skema legal baru (misal: co-management dengan Agrinas atau dijadikan area Perhutanan Sosial seperti Hutan Kemasyarakatan/HKM di lahan hutan produksi).

Prinsipnya, pemerintah ingin rakyat kecil tetap bisa bertani secara legal dan lestari.

Untuk lahan inti perusahaan PT BBB (~280 ha) yang jelas-jelas berada dalam kawasan hutan, Satgas PKH menuntut penyerahan penuh kepada negara. Hingga akhir Juli 2025, PT BBB belum menyerahkan sekitar 280 ha lahan inti tersebut dengan dalih menunggu instruksi manajemen pusat di Jakarta.

Satgas PKH memperingatkan jika perusahaan terus menahan lahan milik negara itu, kasusnya akan dilaporkan ke Jampidsus Kejagung untuk diproses hukum. Dengan demikian, penegakan hukum tetap berjalan untuk lahan inti korporasi, sementara pendekatan persuasif dilakukan agar lahan plasma rakyat menemukan solusi win-win (legal tapi tetap memberi akses kelola ke petani).

Penertiban Lahan Sawit dalam Kawasan Hutan di Tanjung Jabung Timur

Kasus signifikan berikutnya terjadi di Kabupaten Tanjung Jabung Timur (Tanjabtim) pada Juli 2025. Satgas PKH melakukan penyegelan terhadap sekitar 1.800 hektare lahan sawit rakyat yang berada di wilayah Kecamatan Mendahara dan Geragai, Tanjabtim.

Lahan ribuan hektar ini dikelola oleh ratusan kepala keluarga petani selama hampir 20 tahun. Warga terkejut karena Satgas PKH memasang plang “Tanah Ini Milik Negara” secara mendadak.

Menurut PT Agrinas dan Satgas PKH, lahan tersebut telah ditetapkan sebagai bagian dari Kawasan Hutan Produksi (HP) milik negara. Artinya, secara tata ruang/formal lahan itu bukan areal penggunaan lain (APL) sehingga tidak boleh dimiliki atau digarap untuk kebun sawit tanpa izin peralihan fungsi.

Warga mengaku tidak tahu status itu. Mereka meyakini tanah tersebut dulunya berstatus Hutan Produksi yang dapat Dikonversi atau bahkan HPL (Hutan Penggunaan Lain). Sehingga dianggap sah-sah saja dibuka jadi kebun.

Terjadi sengketa persepsi status lahan. Versi warga adalah lahan tidak lagi berhutan dan telah menjadi kebun rakyat puluhan tahun. Sedangkan versi pemerintah lahan itu masih tercatat sebagai kawasan hutan negara. Fakta bahwa plang dipasang di Camp PT Wira Karya Sakti (WKS) distrik VII mengindikasikan sebagian lahan berada di konsesi HTI (WKS adalah perusahaan HTI industri) atau setidaknya berbatasan dengan kawasan WKS. Dengan demikian, kemungkinan besar lahan 1.800 ha ini merupakan areal enclave di tengah konsesi HTI yang diklaim warga.

Pada 23–24 Juli 2025, difasilitasi pemerintah, diadakan pertemuan antara perwakilan warga dan pihak PT Agrinas di Jambi. Pihak Agrinas menegaskan bahwa lahan tersebut secara legal adalah kawasan hutan produksi yang telah diambil alih negara dan diserahkan pengelolaannya kepada PT Agrinas.

Namun, Agrinas memperbolehkan warga untuk tetap bercocok tanam di sana dengan syarat tidak merusak atau mencabut plang penanda yang sudah dipasang. Pernyataan ini memicu emosi sebagian warga karena dianggap mengambang.

Belum ada solusi final soal status hak kelola, namun dialog terus dibuka. Perwakilan masyarakat (didampingi LBH, tokoh masyarakat, dan Kades) memenuhi undangan diskusi lanjutan dengan Agrinas pada 24 Juli 2025.

Harapannya adalah ada kebijakan win-win, misalnya skema kemitraan. Lahan tetap milik negara/Agrinas tapi warga diakomodir sebagai pekerja atau penerima manfaat bagi hasil. Alternatif lainnya adalah memproses legalisasi sebagian lahan jika memungkinkan (melalui mekanisme penyelesaian lahan dalam kawasan hutan seperti Inpres 8/2018 atau Perpres 88/2017).

Sampai akhir 2025, kasus Tanjabtim ini masih dalam tahap negosiasi. Yang jelas, secara formal 1.800 ha lahan tersebut sudah berstatus dikuasai negara (dibawah Satgas PKH/Agrinas) dan warga dilarang memperjualbelikan hasil kebun ke pihak lain tanpa seizin Agrinas.

Penertiban Kebun Sawit Ilegal di Kabupaten Sarolangun

Kabupaten Sarolangun juga mengalami beberapa aksi penertiban lahan sawit bermasalah oleh Satgas PKH pada pertengahan 2025. Berbeda dengan Tebo (yang menyasar HGU ilegal) dan Muaro Jambi/Tanjabtim (lahan rakyat di HP), di Sarolangun penertiban banyak terkait penyerobotan kawasan izin Hutan Tanaman Industri (HTI) yang ditanami sawit. Berikut dua kasus utama:

Perkebunan Sawit di Izin HTI (PT GKM & PT HAN)

Satgas PKH bersama Dinas Kehutanan setempat menemukan bahwa dua perusahaan HTI di Sarolangun – PT Gading Karya Makmur (GKM) dan PT Hijau Artha Nusa (HAN) – telah menanam kelapa sawit di area konsesi HTI mereka.

Kedua perusahaan ini memegang izin untuk hutan tanaman industri (seharusnya ditanami tanaman kehutanan seperti akasia/sengon). Tapi lahan mereka dialihfungsikan menjadi kebun sawit tanpa izin perubahan peruntukan. Hal ini melanggar aturan, sehingga ratusan hektare lahan sawit di wilayah konsesi PT GKM dan PT HAN disegel oleh Satgas PKH pada Agustus 2025. Lokasi tepatnya tersebar di Kecamatan Limun, Batang Asai, dan Cermin Nan Gedang (wilayah operasi KPHP Limau Unit VII Sarolangun).

Kepala KPHP Limau Sarolangun, Arbain ST, menjelaskan bahwa tim Satgas memasang plang penyegelan larangan pemanfaatan di area HTI yang sudah ditanami sawit. Luas pasti lahan yang disegel masih didata, namun diperkirakan beberapa ratus hektare.

Rata-rata merupakan kawasan HTI yang ditanami sawit oleh perusahaan, meski ada indikasi melibatkan juga pihak masyarakat sebagai pekerja/penggarap di bawah koordinasi perusahaan. Artinya, perusahaan HTI tersebut kemungkinan mengalihkelolakan lahan ke pihak lain atau membiarkan warga menanam sawit di dalam konsesi mereka, yang tetap tidak legal.

Penyegelan di Sarolangun ini masih tahap awal (preventif).

“Belum ada eksekusi penumbangan, masih pemasangan palang penyegelan,” ujar Arbain.

Satgas PKH akan berkoordinasi dengan Kementerian LHK terkait sanksi bagi pemegang izin HTI yang nakal. Kemungkinan tindak lanjutnya mencakup pencabutan izin konsesi atau kewajiban pemulihan fungsi hutan. Sementara itu, solusi bagi lahan sawit yang telanjur ada, apalagi jika digarap oleh warga lokal, bisa melalui skema perhutanan sosial.

Pihak KPHP mengungkapkan, bila memang sudah terlanjur ada kebun sawit di kawasan HTI, dapat dipertimbangkan dijadikan skema Perhutanan Sosial (misal Hutan Kemasyarakatan, HKM) asalkan berada di luar area izin perusahaan, atau pola kemitraan jika masih di dalam izin perusahaan. Intinya, pemerintah daerah mendorong agar masyarakat tidak membuka lahan baru di hutan, dan yang terlanjur ada dicarikan solusi legal agar tidak merusak hutan lebih lanjut.

Ribuan Hektare Sawit Ilegal di Dusun Dam Siambang, Mandiangin

Satu kasus lagi di Sarolangun terjadi di Dusun Dam Siambang, Desa Pemusiran, Kecamatan Mandiangin. Di daerah ini terdapat perkebunan sawit ilegal seluas ±2.146,7 hektare (berdasarkan angka di plang) yang berada di dalam kawasan Hutan Produksi/HTI.

Lahan ribuan hektar ini diduga dibuka oleh para perambah menggunakan alat berat. Informasi dari lapangan menyebut banyak ekskavator yang bekerja menggarap hutan produksi di Dam Siambang, diduga dibekingi oknum “orang kuat”. Praktik perambahan masif ini telah berlangsung lama tanpa tindakan tegas penegak hukum. Sehingga Satgas PKH akhirnya turun tangan pada Juli 2025.

Tim Satgas PKH memasang sejumlah plang pengumuman penyegelan di lokasi kebun sawit ilegal Dam Siambang sekitar akhir Juli 2025. Plang tersebut menerangkan bahwa lahan seluas 2.146,73 ha tanaman non-kehutanan (sawit) di dalam kawasan HTI tersebut sekarang dalam penguasaan Pemerintah RI cq. Satgas PKH. Artinya, lahan itu resmi disita negara. Warga atau pihak manapun dilarang memasuki lahan tanpa izin, dilarang merusak/menjarah hasil, dan dilarang memperjualbelikan/menguasai lahan tersebut.

Pemasangan plang di Dam Siambang mengakibatkan gejolak. Warga dusun (banyak pendatang asal luar daerah) dilaporkan cemas dan resah karena kebun mereka disegel. Kondisi sempat memanas. Plang Satgas PKH tersebut dilaporkan hilang/dicabut oleh pihak tak bertanggung jawab.

Tampaknya ada perlawanan diam-diam dari oknum pemilik lahan sawit ilegal di sana. Situasi keamanan menjadi tidak kondusif karena warga merasa terancam kehilangan lahan garapan.

Kasus Dam Siambang ini sedang ditangani lintas-instansi. Satgas PKH kemungkinan akan berkoordinasi dengan aparat penegak hukum (Polisi/Kejaksaan) untuk menindak para aktor intelektual perambah hutan tersebut. Ini mengingat skalanya ribuan hektare dan melibatkan alat berat.

Upaya pemulihan kawasan hutan juga menjadi agenda, karena kerusakan areal HTI seluas itu perlu direhabilitasi. Belum ada kabar resmi apakah lahan akan diserahkan ke Agrinas atau justru dikembalikan fungsinya sebagai hutan produksi (ditanami kembali tanaman kehutanan).

Mengingat lokasinya yang terpencil, bisa jadi langkah awal adalah penegakan hukum terhadap pelaku dan penyitaan aset (alat berat, hasil kebun) sambil perlahan melakukan reboisasi atau skema perhutanan sosial terbatas. Pemerintah Provinsi Jambi melalui Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) setempat menghimbau masyarakat sekitar untuk tidak lagi membuka kawasan hutan secara ilegal dan bagi yang terlanjur agar mengikuti prosedur penyelesaian yang ditawarkan (misalnya pengajuan perhutanan sosial).

Daftar Kasus dan Tindak Lanjut Penertiban (2024–2025)

Tabel berikut merangkum kasus-kasus utama lahan sawit bermasalah di Provinsi Jambi yang telah diambil alih oleh Satgas PKH beserta detail pentingnya:

Tabel 1. Ringkasan Lahan Sawit Bermasalah yang Diambil Alih Satgas PKH di Provinsi Jambi (2024–2025)

Lokasi (Kabupaten)Pemilik/PengelolaLuasWaktu PenertibanMasalahTindak Lanjut
Tebo (Kec. VII Koto Ilir, Sumay, Tebo Ilir)5 perusahaan: PT Alam Bukit Tigapuluh (2.012 ha), PT Lestari Alam Jaya (6.596 ha), PT Tebo Multi Agro (850 ha), PT Wana Mukti Wisesa (826 ha), PT Limbah Kayu Utama (3.606 ha).13.890 ha (total)5–6 Juli 2025 (penyegelan & penyitaan)Kebun sawit berada dalam kawasan hutan tanpa izin (IUP/HGU); alih fungsi lahan negara secara ilegal oleh korporasiDisita negara (plang dipasang). Lahan diserahkan ke BUMN PT Agrinas untuk dikelola sebagai aset negara.
Muaro Jambi (Kec. Sekernan)PT Brahma Bina Bakti (BBB) – kebun inti 280 ha; plasma petani (kemitraan) ±2.220 ha di desa-desa Sekernan (termasuk 758 ha milik 250 petani di Desa Tanjung Lanjut).±2.500 haJuni–Juli 2025 (plang penertiban dipasang)Perkebunan sawit dalam kawasan hutan produksi tanpa izin pelepasan; tidak punya HGU. Sebagian besar berupa kebun plasma rakyat yang bermitra dengan perusahaan (tumpang tindih lahan negara).Disita negara (dalam penguasaan Satgas PKH). Petani plasma diizinkan tetap bercocok tanam sementara dengan syarat tidak merusak plang. Sedang dinegosiasikan skema solusi: kemitraan dengan BUMN (PT Agrinas) atau Perhutanan Sosial agar petani tidak kehilangan lahan. Kebun inti perusahaan 280 ha wajib diserahkan ke negara – jika tidak, akan diproses hukum.
Tanjung Jabung Timur (Kec. Mendahara & Geragai)Masyarakat (ratusan petani lokal di beberapa desa, nama individu tidak disebut) yang menggarap lahan secara swadaya.±1.800 ha23–24 Juli 2025 (penyegelan mendadak)Kebun sawit rakyat berada di kawasan Hutan Produksi (HP) (dinyatakan kawasan milik negara). Warga mengklaim lahan itu eks HPL dan telah dikelola >20 tahun, namun pemerintah menetapkan sebagai kawasan hutan negara (tanpa pelepasan).Disegel dan diambil alih negara (plang “Tanah Milik Negara” dipasang). Pengelolaan diserahkan ke PT Agrinas selaku BUMN, namun warga diperbolehkan tetap bertani tanpa merusak plang sambil menunggu solusi. Dilakukan dialog antara perwakilan petani, Pemda, dan Agrinas untuk mencari win-win (misal: kemitraan atau legalisasi terbatas)
Sarolangun – Wilayah HTI (Kec. Limun, Batang Asai, Cermin Nan Gedang)PT Gading Karya Makmur & PT Hijau Artha Nusa (HAN) – perusahaan pemegang izin HTI yang lahannya ditanami sawit. Juga terdapat keterlibatan oknum masyarakat (penggarap di bawah koordinasi perusahaan).“Ratusan hektare” (estimasi, luasan detail dalam pendataan)Agustus 2025 (plang penyegelan dipasang)Pelanggaran izin HTI: Area konsesi HTI (Hutan Tanaman Industri) disalahgunakan untuk kebun sawit. Alih fungsi lahan hutan tanpa izin oleh perusahaan; diduga perusahaan membiarkan/kerjasama dengan pihak lain menanam sawit di lahan HTI.Disegel oleh Satgas PKH (plang larangan jual-beli dan penguasaan dipasang). Belum eksekusi lanjutan (tahap awal penertiban). Akan diproses pemulihan sesuai aturan Kehutanan: kemungkinan izin konsesi dicabut atau lahan dikembalikan jadi HTI. Solusi keterlanjuran: jika melibatkan warga, ditawarkan skema Perhutanan Sosial atau kemitraan agar lahan dapat ditanami secara legal tanpa melanggar fungsi hutan.
Sarolangun – Dam Siambang, MandianginBerbagai pihak (perambah liar) – diduga kelompok orang dengan alat berat; tidak berizin (bukan entitas resmi).2.146,7 ha (sesuai angka di plang)Akhir Juli 2025 (penyegelan; plang sempat dicabut oknum)Perambahan hutan produksi secara ilegal. Ribuan ha hutan produksi/HTI digarap jadi kebun sawit liar sejak ~2005 tanpa izin. Melibatkan alat berat dan oknum “berpengaruh”, tidak ada badan hukum resmi (lokasi terpencil).Disita negara (plang penyitaan penguasaan pemerintah RI dipasang)media-dpr.com. Penertiban berlanjut meski ada perlawanan (plang sempat dihilangkan). Tindak lanjut mencakup penegakan hukum pidana terhadap pelaku perambahan dan pemulihan kawasan hutan (rehabilitasi). Status lahan diambil alih negara; kemungkinan ke depan dikelola untuk restorasi atau oleh BUMN setelah kondisi aman.
Sumber: Data diolah dari Satgas PKH.

Penertiban lahan sawit ilegal oleh Satgas PKH di Provinsi Jambi sepanjang 2024–2025 menunjukkan keseriusan pemerintah menegakkan hukum kehutanan dan agraria. Ribuan hektare hutan negara yang selama ini dikuasai secara melawan hukum telah kembali ke pangkuan negara. Secara finansial, aset negara yang diselamatkan di Jambi mencapai triliunan rupiah apabila dihitung nilai lahan dan tanaman sawitnya. Langkah ini juga diharapkan memulihkan fungsi lingkungan: menghentikan deforestasi lebih lanjut dan membuka peluang rehabilitasi di kawasan-kawasan kritis.

Ke depan, diharapkan Provinsi Jambi dapat menyelesaikan seluruh pekerjaan rumah 3.000+ hektare kebun sawit dalam hutan yang teridentifikasi bermasalah. Sinergi antara penegakan hukum, kebijakan agraria, dan pemberdayaan masyarakat harus terus dijaga. Dengan demikian, penertiban lahan sawit ini tidak hanya mengembalikan hutan pada fungsinya, tetapi juga menciptakan tata kelola perkebunan yang legal, adil, dan lestari demi kemakmuran rakyat sesuai amanat konstitusi.(*)

Add new comment

Restricted HTML

  • Allowed HTML tags: <a href hreflang> <em> <strong> <cite> <blockquote cite> <code> <ul type> <ol start type> <li> <dl> <dt> <dd> <h2 id> <h3 id> <h4 id> <h5 id> <h6 id>
  • Lines and paragraphs break automatically.
  • Web page addresses and email addresses turn into links automatically.

BeritaSatu Network