Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyoroti tingginya biaya politik di Indonesia yang kerap memicu tindak pidana korupsi. Hal ini ditegaskan KPK menyusul kasus Bupati Lampung Tengah nonaktif, Ardito Wijaya, yang diduga menggunakan uang suap untuk membayar utang biaya kampanye.
Tak tanggung-tanggung, dari total dugaan suap Rp 5,75 miliar yang diterima Ardito, sebanyak Rp 5,25 miliar di antaranya digunakan untuk melunasi utang politiknya saat kontestasi pemilu.
"Temuan ini menunjukkan bahwa tingginya biaya politik dan tidak akuntabel serta transparannya laporan keuangan partai politik membuat upaya pencegahan aliran uang tidak sah menjadi lemah," ujar Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo.
Atas dasar itu, KPK kini mendorong penerapan sistem pelaporan keuangan partai politik (parpol) yang terstandar, transparan, dan akuntabel. Mekanisme ini dinilai krusial sebagai instrumen pencegahan korupsi dari hulu untuk menutup celah masuknya dana-dana ilegal ke dalam proses politik.
"KPK mendorong pentingnya standardisasi dan sistem pelaporan keuangan partai politik, agar mampu mencegah adanya aliran uang yang tidak sah," tegas Budi.
Selain masalah dana, KPK juga membongkar "penyakit" lain di tubuh parpol, yakni lemahnya integrasi antara proses rekrutmen dan kaderisasi. Kondisi ini memicu suburnya praktik mahar politik dan tingginya intensitas kader "kutu loncat" yang berpindah-pindah partai.
Menurut Budi, sistem yang lemah ini menyebabkan kandidasi calon pemimpin daerah hanya didasarkan pada kekuatan finansial (isi tas) dan popularitas semata, bukan kualitas kader.
Saat ini, Direktorat Monitoring KPK tengah melakukan kajian mendalam terkait sengkarut pendanaan dan rekrutmen politik tersebut.
"KPK melalui Direktorat Monitoring masih berproses untuk melengkapi kajian ini, dan nantinya akan menyampaikan rekomendasi perbaikannya kepada para pemangku kepentingan terkait," pungkasnya.(*)
Add new comment