Ini gebrakan brilian. Hotel-hotel yang mengais rizki di tanah Sepucuk Jambi Sembilan Lurah, diminta menghadirkan menu-menu khas Jambi di restorannya. Jika gagasan ini dijalankan, maka anda akan menemukan di setiap hotel menu seperti sepiring nasi minyak, semangkuk gulai tepek ikan, dan aroma tempoyak yang menusuk.
Gagasan besar ini muncul dari Lembaga Adat Melayu (LAM) Jambi, yang dipimpin Hasan Basri Agus (HBA). LAM Jambi berupaya agar budaya tak hanya dipelajari. Tapi, juga melalui hidangan yang disantap.
Semangat ini hendak dihidupkan LAM Jambi, dalam rangka menyambut Hari Amal Maulid Nabi Muhammad SAW 28 Juni 2025 mendatang. Melalui panitia pelaksana, LAM merekomendasikan kepada seluruh hotel, penyedia katering, dan tempat jamuan resmi untuk mengutamakan makanan khas Jambi. Sajian ini diawali pada peringatan keagamaan tahun ini.
Dan inilah babak baru perjuangan budaya di Jambi. Bukan lewat tarian, tapi lewat piring makan.
Syahrasaddin, Ketua Panitia Hari Amal Maulid, menyampaikan pihaknya sedang menyiapkan nota rekomendasi resmi kepada Asosiasi Hotel Indonesia (PHRI) Jambi dan pelaku usaha kuliner. LAM Jambi mendorong agar sajian utama dalam jamuan Maulid adalah masakan khas Melayu Jambi, bukan sekadar menu hotel universal.
Kemudian menu direkomendasikan seperti nasi gemuk, gulai tepek, gulai terjun, Pindang Baung, tempoyak udang, laksan, sambal seruit, dan teh talua. Penyedia layanan konsumsi diminta bekerja sama dengan UMKM kuliner tradisional agar rantai ekonomi lokal turut bergerak.
“Banyak tamu yang datang ke acara agama dan budaya, tapi yang disuguhkan kadang spaghetti, capcay, atau ayam mentega. Itu bukan salah, tapi itu bukan kita. Menu khas lokal ini yang akan kita dorong ke depan,” ujar Syahrasaddin, awal pekan lalu dalam rapat persiapan menyambut hari amal Maulid Nabi.
Ketua tim Tenaga Ahli Gubernur Jambi itu menekankan, kuliner adalah bentuk dakwah kultural.
“Makanannya Nabi itu tidak asing dengan rempah dan kearifan lokal. Ini bukan soal nostalgia, tapi identitas,” ujarnya.
LAM mewanti-wanti agar kuliner Jambi tak hanya sekadar menjadi jejak dalam buku resep lama, melainkan harus tampil di hadapan publik, di jamuan resmi, di hotel berbintang, di etalase festival.
“Kita khawatir jika tidak segera dilestarikan dan dipromosikan secara masif, anak-anak muda kita nanti akan lebih kenal Tom Yum daripada gulai tepek. Kita lihat, belum lama ini mall Jamtos menggelar Festival Kuliner Thailand. Bagus, tapi sayang, kita belum pernah lihat Festival Kuliner Jambi di tempat yang sama,” tegas Syahrasaddin.
Seolah kita bangga pada yang asing, abai pada yang asli. Padahal, menurut data LAM, setidaknya ada lebih dari 40 jenis kuliner khas Jambi, dari berbagai kabupaten/kota, yang layak dipromosikan secara reguler di hotel, kafe, dan tempat publik lainnya.
Langkah ini bukan hanya soal rasa, tapi juga soal redistribusi ekonomi. Jika, satu hotel besar bekerja sama dengan 10 UMKM kuliner lokal, dan setiap acara menyerap 200–300 porsi makanan daerah, maka, minimal ratusan juta rupiah per tahun dapat mengalir ke dapur lokal.
UMKM kuliner akan mendapatkan legitimasi, bukan hanya belas kasihan subsidi. Budaya lokal tidak hanya diarak, tapi dibiayai oleh sistem konsumsi nyata.
"Jika kita serius, rekomendasi ini bisa naik kelas. Bukan cuma Maulid, tapi bisa masuk standar perjamuan Pemprov, tamu luar daerah, bahkan diplomasi kuliner," jelas mantan Sekda Provinsi Jambi itu.
Drs. H. Hasan Basri Agus (HBA), Ketua LAM Provinsi Jambi sekaligus mantan Gubernur Jambi, menyebut langkah ini bukan sekadar gaya, tapi strategi pelembagaan budaya secara sistemik.
“Kalau budaya hanya ditampilkan saat pembukaan acara, lalu makanan dan suasana semua kembali modern, berarti kita masih setengah hati menjaga warisan. Budaya itu harus melekat dalam seluruh sistem, termasuk jamuan,” jelasnya.
HBA juga menegaskan bahwa rekomendasi ini bukan bentuk pemaksaan, melainkan pengayaan identitas.
“Silahkan hotel menyajikan makanan andalan mereka. Silakan, sajikan sesuai selera pasar. Kita mendorong ke depan, identitas lokal jangan dihapus. Harus diberi porsi. Karena banyak tamu dari luar yang justru datang ke Jambi ingin merasakan yang khas, yang tidak mereka temui di tempat lain,” jelasnya.
Menurut HBA, LAM akan memberi panduan tertulis mengenai kuliner adat yang layak disajikan. Lalu menghubungkan hotel dengan pelaku UMKM kuliner lokal. Melatih chef dan penyaji makanan untuk mengenal dan menyuguhkan kuliner adat secara profesional.
Langkah LAM ini bisa membuka jalan ke tiga agenda besar:
Aspek | Potensi |
---|---|
Budaya | Makanan daerah jadi praktik budaya harian, bukan sekadar tontonan |
Pariwisata | Tamu hotel dan peserta acara mendapat pengalaman otentik |
Ekonomi | UMKM kuliner jadi mitra sah, bukan pelengkap belaka |
Jika langkah ini berhasil, LAM Jambi bisa jadi pioneer nasional dalam kulinerisasi budaya. Model yang dapat direplikasi oleh LAM-LAM di provinsi lain. Jika benar-benar diwujudkan, maka Hari Amal Maulid 28 Juni nanti bukan hanya jadi acara peringatan, tapi jadi deklarasi kultural. Kita tak hanya mencintai budaya saat bicara, tapi juga saat kita menyuapkannya kepada tamu-tamu terhormat.
Dan lebih jauh dari itu, kita ingin kuliner khas Jambi naik panggung di rumah-rumah modern. Tampil di pusat perbelanjaan, dikampanyekan di media sosial, dijadikan kebanggaan baru generasi muda. Kita ingin melihat festival kuliner khas Jambi digelar di Mall Jamtos, bukan hanya Tom Yum dan Pad Thai dari Thailand yang dipamerkan megah belum lama ini.
Kita ingin tempoyak, laksan, gulai terjun, ikan tepek dan nasi gemuk disuguhkan dengan bangga, dijajakan dengan narasi, dan dirayakan sebagai identitas. Sebab bangsa yang kuat bukan hanya bangsa yang bisa membeli makanan dari luar, tetapi bangsa yang tahu rasa aslinya sendiri. Kita apresiasi LAM Jambi, yang sudah memulai gagasan besar ini.(*)
Comments
Ribet. Orang adat itu saja…
Ribet.
Orang adat itu saja pengen makan spaghetti, sudah bosan mereka dengan tempoyak. Tengok be, kalau mereka dinas, macam orang kalab.
Add new comment