“Pono Itu Marga”

WIB
IST

Namanya Hasan Basri Agus. Para wartawan menjulukinya HBA. Nama HBA mashur saat perhelatannya di Pilgub Jambi 2010 silam. Nama HBA ini pula yang akhirnya lengket menjadi sebutan keseharian sang gubernur. Jejak HBA, terpampang nyata di ruang-ruang publik Jambi. Dari pojok Sarolangun hingga jembatan Gentala Arasy.

Hari itu, ia bukan gubernur. Ia bukan bupati. Ia bukan tokoh Samisake. Ia duduk sebagai anggota Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI, mewakili Partai Golkar, dan berbicara dalam kapasitas moral yang lebih luas, Ketua Lembaga Adat Melayu Jambi.

Rabu 14 Mei 2025, HBA menjadi salah satu hakim yang menyidangkan oknum anggota DPR RI. Yang dihadapinya bukan sembarang politisi. Ia adalah Ahmad Dhani, musisi kawakan yang kini menjadi anggota DPR RI. Dan yang dipersoalkan bukan soal undang-undang, tapi ucapan—tentang kata “Pono,” yang dilontarkan Dhani dalam konteks yang dinilai sembrono, merendahkan, dan tidak layak.

“Apakah Bapak tahu kalau Pono itu marga, bukan nama biasa?”

Pertanyaan itu dilontarkan HBA seperti seorang tetua adat yang tak sedang marah. Tapi sedang mencoba menyampaikan luka budaya. Ahmad Dhani menjawab singkat, “Tidak tahu, Pak.”

Tapi HBA tak membiarkan itu selesai begitu saja.

“Sayang Bapak ini orang terkenal. Jadi ketika Bapak yang bicara, akan langsung disorot. Pono itu marga, seperti Siregar atau Sihombing di Medan. Jadi hati-hati ke depan.”

Dhani, suami Mulan Jamila itu tampak manggut-manggut.

Bagi sebagian orang, Pono mungkin hanya bunyi satu suku kata. Tapi bagi masyarakat di Nusa Tenggara Timur, Pono adalah marga—nama leluhur yang diwariskan dengan hormat. Ia bukan bahan canda. Bukan julukan spontan.

Dan bagi HBA, yang kini memimpin Lembaga Adat Melayu Jambi, nilai dari sebuah nama adalah perkara besar. Sebab dalam adat Melayu, kata adalah marwah, dan ucapan adalah citra diri. Jika seorang tokoh publik mempermainkan nama, maka yang tercabik bukan hanya reputasi, tapi kehormatan banyak orang yang mewarisi nama itu.

Video HBA mencecar Dhani itu langsung viral. Kata "Pono" yang ditanyakan HBA menjadi kata yang banyak disearching di Google. Kemunculan HBA Vs Dhani itu, mendadak membangkitkan kembali romantisme dan memori publik, tentang siapa sosok HBA. Bukan hanya bagi warga Jambi. Warga NTT dan warga lain di Indonesia ramai mencari tahu siapa sosok HBA.

Dari Sarolangun ke Senayan: HBA dan Jejak yang Tak Pernah Padam

HBA bukan nama baru. Tentu ini bagi warga Jambi. Ia sudah lama menapaki lintasan birokrasi dan politik. Dari ajudan Gubernur Jambi, menjadi Bupati Sarolangun, lalu Gubernur Jambi, dan kini dua periode duduk di Senayan.

Ia dikenal sebagai tokoh yang melahirkan program Samisake (Satu Miliar Satu Kecamatan). Melahirkan Gentala Arasy, yang kini menjadi ikon budaya dan jembatan penghubung di Sungai Batanghari. Menjadi mentor politik bagi banyak tokoh Jambi hari ini, termasuk Al Haris, gubernur Jambi saat ini.

Dan kini, sebagai Ketua Lembaga Adat Melayu Jambi, HBA tak sekadar duduk di forum. Ia membawa serta nilai, cara pandang, dan kehormatan seluruh masyarakat adat yang ia wakili.

Sidang MKD akhirnya memutuskan Ahmad Dhani melanggar kode etik. MKD menjatuhkan sanksi teguran lisan. Keputusan itu diambil berdasarkan dua laporan resmi yang masuk ke MKD pada 26 Maret dan 24 April 2025.

Namun bagi HBA dan mereka yang memahami kehormatan budaya, sanksi bukanlah inti dari peristiwa ini. Yang lebih penting adalah pengingat bahwa menjadi publik figur adalah menjadi penjaga lidah dan nilai, bukan hanya penyampai opini.

Hari itu, seorang mantan gubernur dari daerah pemilik 4 kawasan hutan abadi itu, bicara pada seorang artis nasional. Tapi di balik momen itu, yang sebenarnya sedang terjadi adalah pertarungan nilai antara kebebasan berbicara dan kewajiban menjaga rasa hormat.

Dan HBA, dengan usianya yang senior, tampil bukan untuk mendebat. Tapi untuk mengingatkan, bahwa sebesar apapun panggung kita, kehormatan orang lain tetap harus dijaga—terutama jika kita tak tahu di mana tanah leluhurnya berada.

Dan dari HBA kita belajar bahwa“Pono itu bukan nama panggilan. Ia nama keluarga. Nama yang membawa darah, sejarah, dan derai air mata.”. Jagalah lisanmu. "Mulutmu harimau mu..."

Add new comment

Restricted HTML

  • Allowed HTML tags: <a href hreflang> <em> <strong> <cite> <blockquote cite> <code> <ul type> <ol start type> <li> <dl> <dt> <dd> <h2 id> <h3 id> <h4 id> <h5 id> <h6 id>
  • Lines and paragraphs break automatically.
  • Web page addresses and email addresses turn into links automatically.

BeritaSatu Network