Audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI tahun 2025 membongkar borok lama yang tak kunjung sembuh, perjalanan dinas fiktif. Kali ini menimpa Sekretariat DPRD Kabupaten Batanghari.
Realisasi belanja perjalanan dinas di DPRD Batanghari tahun lalu menyentuh angka Rp 45,25 miliar dari total pagu Rp 50,13 miliar. Dari jumlah itu, Rp 24,64 miliar terserap hanya untuk perjalanan dinas Sekretariat DPRD. BPK pun melakukan uji petik. Hasilnya, mengejutkan dan memalukan.
Sebanyak Rp 324,9 juta dibayarkan untuk perjalanan dinas pegawai sekretariat DPRD yang ternyata tidak pernah terjadi. Nama kegiatannya studi banding dan konsultasi kelembagaan. Tapi, faktanya, tidak satu pun dokumentasi keberangkatan bisa dibuktikan. Hotel tak mengenali nama tamu. Laporan kegiatan kosong. Pegawai juga tidak tercatat hadir di lokasi tujuan.
BPK juga menemukan 21 orang anggota DPRD Batanghari menerima uang perjalanan dinas sebesar Rp 412,425 juta, padahal mereka tidak pernah berangkat.
Sebagian kecil, Rp 14,38 juta, sudah dikembalikan. Tapi, Rp 398 juta lebih masih belum kembali ke kas daerah. Surat tugas dibuat. Dana dicairkan. Laporan SPJ lengkap. Tapi keberangkatan? Hanya terjadi di atas kertas.
Ada pula temuan manipulasi lama waktu perjalanan dinas. Beberapa peserta kegiatan mencatatkan durasi harian dan penginapan melebihi jadwal sebenarnya. Hingga menyebabkan kelebihan bayar Rp 34,665 juta. Dari jumlah itu, hanya Rp 16,659 juta yang dikembalikan.
Masih tersisa Rp18 juta lebih, yang entah kapan dikembalikan.
Akumulasi seluruh temuan BPK menunjukkan jumlah uang daerah yang "menguap" tanpa jejak mencapai Rp 740,99 juta. Semua berasal dari pos yang sama, perjalanan dinas. Pos yang selama ini dikenal sebagai “ladang basah”.
Pelanggaran ini melanggar terang-terangan aturan Perbup Batang Hari yang mengharuskan pertanggungjawaban setiap perjalanan dinas disertai bukti kehadiran dan laporan kegiatan.
BPK menyebut penyebab utamanya adalah pengawasan lemah oleh Sekretaris DPRD selaku Pengguna Anggaran. Praktik ini memungkinkan “perjalanan fiktif” lolos dari verifikasi, bahkan hingga tahap pencairan anggaran.
Parahnya, beberapa kelebihan bayar baru dikembalikan setelah BPK melakukan audit. Artinya, bukan kekhilafan. Ada indikasi bahwa uang itu memang sengaja diambil, dan baru “dikembalikan” ketika ketahuan.
BPK tak memakai kata basa-basi. Ini bukan sekadar kesalahan administrasi. Tapi indikasi tindak pidana korupsi. Perjalanan dinas fiktif adalah bentuk memperkaya diri secara melawan hukum.
Praktik ini menambah panjang daftar luka publik. Dana ratusan juta rupiah yang seharusnya bisa dipakai membangun jalan, membiayai pelayanan kesehatan, atau menambah beasiswa, malah terbang dalam agenda yang bahkan tak pernah berangkat.(*)
Add new comment