Satgas Anti-Penyelundupan Benih Lobster Dibentuk Prabowo, Jambi Jadi Titik Transit Utama

WIB
IST

Pemerintah menyiapkan Perpres Satgas Pemberantasan Benih Lobster ilegal menyusul kerugian negara Rp16 triliun per tahun. Jambi disebut jadi jalur transit utama penyelundupan benur ke Vietnam dan Singapura. Kasus demi kasus diungkap aparat, dari gudang penampungan di Kota Jambi hingga kapal pengangkut 383 ribu benur di perairan Tanjab.

***

Wacana Presiden Prabowo Subianto untuk membentuk Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Penyelundupan Benih Lobster muncul karena maraknya penyelundupan baby lobster (benih bening lobster/benur) yang merugikan negara dan mengancam ekosistem laut.

Menteri Kelautan dan Perikanan mengungkapkan kerugian negara mencapai Rp 16 triliun per tahun akibat praktik penyelundupan benur ilegal, terutama yang melibatkan jaringan Vietnam. Angka fantastis ini mendorong pemerintah mengambil langkah tegas.

Menteri mendesak dikeluarkannya Peraturan Presiden (Perpres) untuk membentuk Satgas lintas-lembaga demi menanggulangi masalah ini, menggantikan aturan menteri sebelumnya yang dinilai belum ampuh. Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka pun menegaskan pentingnya percepatan Perpres anti-penyelundupan benur, mengingat kekayaan laut Indonesia yang bernilai fantastis harus dijaga dari ulah penyelundup.

Satgas yang digodok pemerintah akan melibatkan koordinasi erat berbagai instansi penegak hukum. Menurut Dirjen PSDKP KKP, Pung Nugroho Saksono, Perpres Satgas tengah disiapkan dan Satgas khusus ini akan melibatkan KKP, TNI AL, Bakamla, Kejaksaan Agung, Polri, hingga unsur TNI AD dan AU.

Keterlibatan lintas sektor diperlukan karena jaringan penyelundup benur beroperasi melalui jalur laut, udara, hingga darat. Selama ini, penindakan berjalan parsial di masing-masing instansi sehingga kerap kecolongan. “KKP operasi sendiri. Angkatan Laut sendiri. Polisi juga begitu. Tidak terpimpin. Dengan Satgas, semua terkoordinasi dan operasi bisa digelar serentak,” ujar Pung Nugroho.

Satgas gabungan ini diharapkan meningkatkan efektivitas operasi penindakan dan mengatasi kendala seperti terbatasnya anggaran patroli darat. Pemerintah meyakini upaya ini sejalan dengan arahan Presiden untuk menyelamatkan kekayaan negara sekaligus melindungi keberlanjutan ekosistem laut Indonesia dari eksploitasi benih lobster.

Fenomena Penyelundupan Benur di Jambi

Provinsi Jambi mencuat sebagai salah satu titik transit utama dalam pengiriman benih lobster ilegal ke luar negeri. Daerah pesisir Jambi, khususnya Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan Tanjung Jabung Timur, memiliki garis pantai terbuka yang dimanfaatkan penyelundup.

Wilayah ini diduga menjadi penghubung pergerakan benur dari Indonesia bagian selatan menuju “pelabuhan tikus” di utara Sumatra sebelum dikirim ke Singapura atau Vietnam. Benih lobster hasil tangkapan nelayan di berbagai daerah (Jawa Timur, Jawa Barat, Banten, Lampung, Sumbar, dll) kerap dikumpulkan dan ditampung di provinsi Jambi dan sekitarnya, sebelum di-packing dan diselundupkan melalui jalur laut.

Jalur darat pun digunakan. Benur dari daerah selatan dibawa lewat Jambi lalu dikirim via pelabuhan kecil. Sehingga jaringan ini melibatkan transportasi darat skala besar.

Fenomena maraknya penyelundupan benur di Jambi terungkap sejak beberapa tahun terakhir. Pada 22 Desember 2020, Polda Jambi menggerebek sebuah rumah di kawasan Telanaipura, Kota Jambi, yang dijadikan gudang penampungan benur ilegal senilai Rp 13,1 miliar.

Dari rumah tersebut, polisi menyita 129 ribu ekor benih lobster (terdiri dari ~127 ribu benur jenis lobster mutiara dan ~2.466 lobster pasir) yang rencananya akan dikirim keluar negeri. Para pelaku telah memodifikasi rumah tersebut dengan bak penampungan beroksigen dan suhu dingin untuk menjaga benur tetap hidup, dan menyiapkan plastik serta styrofoam untuk pengepakan.

Polisi menangkap 4 tersangka yang berperan sebagai kepala gudang, sopir, dan pekerja, serta mengamankan dua unit mobil yang digunakan untuk mengangkut benur menuju pantai. Rencana jaringan ini adalah membawa ribuan benur itu ke Singapura, Malaysia, dan Vietnam melalui pelabuhan-pelabuhan kecil di Tanjab Barat dan Tanjab Timur.

“Jambi ini hanya jadi tempat persinggahan saja, tempat ekspornya itu ada beberapa negara,” ujar Kapolda Jambi.

Memasuki tahun 2024, pola penyelundupan kian terendus aparat dengan kasus beruntun di wilayah Jambi. 10 Mei 2024 dini hari, TNI AL Pos Kualatungkal berhasil mengamankan 52 box styrofoam berisi ratusan ribu benur di perairan Kampung Laut, Tanjung Jabung Timur.

Puluhan kotak tersebut berisi benur berbagai jenis yang dikemas dalam kantong plastik berisi oksigen, siap diselundupkan ke negara tetangga. Komandan Pos AL Kualatungkal Kapten Agus menyebut tak satu pun dokumen sah menyertai muatan benih lobster itu. Sehingga langsung disita dan diamankan bekerja sama dengan petugas Karantina Ikan dan KKP.

Benur-benur tersebut segera diselamatkan dengan re-oksigenasi dan dikemas ulang menggunakan es agar tetap dingin, lalu dikirim ke Jakarta untuk dilepasliarkan ke habitat asalnya. Hanya sehari berselang, Tim gabungan Ditpolairud Polda Jambi, Korpolairud Baharkam Polri, dan instansi terkait juga melakukan operasi darat di Jambi. Mereka menggagalkan penyelundupan 125.684 ekor benih lobster di dua lokasi berbeda wilayah Kota dan Kabupaten Muaro Jambi pada 10 Mei 2024.

TKP pertama di Mendalo (Muaro Jambi) diamankan tersangka AR dengan barang bukti ~35 ribu ekor benur dalam satu unit mobil Avanza. TKP kedua di parkiran sebuah swalayan Jalan Lingkar Barat Jambi, petugas menangkap dua tersangka (APH dan A) dan menyita 17 box styrofoam berisi 90 ribu ekor benur yang sudah dikemas siap kirim.

Total tiga pelaku dan dua mobil disita dalam operasi tersebut, dengan barang bukti benur mencapai 125 ribu ekor berbagai jenis. Modus operandi jaringan ini adalah menyimpan benih di rumah kontrakan atau kendaraan, lalu mengangkutnya ke pelabuhan gelap menggunakan kendaraan pribadi. Para tersangka dijerat UU Perikanan dengan ancaman maksimal 8 tahun penjara dan denda Rp 1,5 miliar.

Kasus terbaru yang menghebohkan terjadi April 2025. Pangkalan TNI AL Palembang (Lanal Palembang) menangkap sebuah kapal kayu mencurigakan tanpa lampu yang melintas tengah malam di perairan Jambi pada 23 April 2025.

Saat dihentikan, ditemukan tiga orang ABK beserta 72 box styrofoam berlapis terpal hitam berisi benih lobster ilegal. Petugas mendapati muatan fantastis sebanyak 383.615 ekor baby lobster yang terdiri dari lobster pasir, lobster mutiara, dan lobster bambu.

Diduga kuat kapal ini rencananya akan memindahkan benur tersebut ke kapal cepat lain di tengah laut untuk dibawa ke luar negeri, karena saat penangkapan terdeteksi kapal target yang berkecepatan tinggi melarikan diri dan belum tertangkap.

Kasus ini masih dikembangkan untuk mengungkap jaringan penyelundup yang terlibat di balik kapal pengumpan dan kapal cepat tersebut. Menariknya, ini kali pertama petugas menemukan jenis lobster bambu dalam upaya penyelundupan; harganya diperkirakan setara lobster pasir (~Rp100 ribu/ekor).

Para pelaku penyelundupan benur di lapangan umumnya terorganisir rapi dan lihai menghindari patroli. Aparat mengungkap bahwa jaringan ini menanam informan untuk mengawasi pergerakan petugas.

“Pelaku BBL (benih lobster) memiliki jaringan, mereka menanam semacam informan apakah ada pengawasan dari pihak AL, PSDKP,” ungkap Laksda TNI Adin Nurawaluddin dari KKP.

Jika tercium ada patroli Angkatan Laut atau petugas pengawas di lapangan, para penyelundup menunda pengiriman hingga dirasa aman. Mereka juga menjadwalkan pengiriman dengan ketat. Misalnya kasus di Batam 2022 terungkap kapal penyelundup berusaha mencapai Singapura sebelum pukul 17.30 (batas waktu penerimaan kargo benur di sana). Dan karena petugas berjaga siang hari, mereka menunggu hingga petang untuk bergerak.

Tak jarang terjadi adu cepat di laut. Speedboat pembawa benur melawan kapal patroli. Pernah dalam kejar-kejaran di perairan Pulau Sambu (Batam), kapal penyelundup menabrak karang dan para pelakunya kabur ke hutan bakau, meninggalkan barang bukti ratusan ribu benur yang akhirnya diamankan petugas.

Pola kucing-kucingan ini menunjukkan bahwa jaringan penyelundup benur memiliki modal besar, teknologi, dan koneksi internasional sehingga cukup canggih menghindari penegak hukum.

Regulasi Terbaru (September 2025)

Aparat penegak hukum di Indonesia sebenarnya telah melakukan berbagai operasi penindakan, namun masih kewalahan menghadapi masifnya penyelundupan benur. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencatat sepanjang tahun 2024 berhasil menggagalkan penyelundupan 6,44 juta ekor benih lobster ilegal dengan nilai mencapai Rp 849 miliar.

Keberhasilan pengawasan itu hasil sinergi KKP dengan aparat penegak hukum di berbagai daerah, melalui setidaknya 24 kali operasi penangkapan di 11 lokasi. Sementara Bareskrim Polri mengungkap bahwa dalam kurun satu bulan (akhir 2024) saja mereka berhasil menggagalkan enam upaya penyelundupan benur di Kepulauan Riau, Lampung, dan Jambi, dengan total 715 ribu ekor benur disita senilai lebih dari Rp 72 miliar.

“Langkah ini bukan hanya menyelamatkan potensi kerugian negara, tetapi juga melindungi keberlanjutan ekosistem laut Indonesia,” tegas Brigjen Nunung Syaifuddin, Dirtipidter Bareskrim Polri, tentang operasi gabungan Polri dan Bea Cukai di akhir 2024.

Penindakan oleh TNI AL pun gencar, utamanya di wilayah rawan seperti perairan Sumatra bagian timur, Selat Malaka, hingga perbatasan Singapura dan Malaysia. TNI AL bekerja sama dengan PSDKP dan Bakamla menggagalkan berbagai penyelundupan, di antaranya 99.648 ekor benur tujuan Singapura (nilai Rp 15 miliar) yang diungkap Lanal Palembang, hingga pengungkapan 237 ribu benur tujuan Malaysia di perairan Bintan.

Kendati demikian, pemerintah mengakui perlu langkah lebih terstruktur dan payung hukum lebih kuat untuk benar-benar menghentikan perdagangan gelap benur. Menteri KKP Trenggono secara terbuka menyatakan dirinya “kewalahan dan banyak kecolongan” selama dua tahun melarang ekspor benur secara total.

Setelah skandal mantan Menteri KKP Edhy Prabowo (2020) yang sempat membuka keran ekspor benur berujung korupsi, Trenggono pada 2021 langsung menutup kembali ekspor benih lobster melalui Permen KP No. 17 Tahun 2021.

Aturan tersebut melarang penangkapan dan distribusi benur ke luar wilayah RI demi mendorong budidaya dalam negeri dan menjaga kelestarian alam. Namun, kebijakan tegas ini justru memicu maraknya penyelundupan ilegal karena permintaan luar negeri tak surut.

Pemerintah sempat mencoba pendekatan kerja sama dengan Vietnam melalui skema joint venture budidaya lobster, bahkan menerbitkan Permen KP No. 7 Tahun 2024 yang membuka kembali peluang ekspor benur dengan kuota dan pengawasan ketat. Sayangnya, evaluasi menunjukkan skema joint venture tersebut gagal mencapai target, dan celah ekspor itu diduga disalahgunakan oknum untuk penyelundupan terselubung.

Alhasil, per September 2025, pemerintah mencabut kembali izin ekspor benur. Permen KP 7/2024 dinyatakan tidak berlaku, dan ketentuan ekspor lobster melalui skema JV resmi dihentikan. Regulasi dikembalikan ke pelarangan semula guna menata ulang tata niaga yang lebih adil dan transparan.

Pada saat yang sama, proses penyusunan Perpres Satgas Pemberantasan BBL Ilegal terus dikebut. Menteri Trenggono mengonfirmasi draft Perpres Satgas sudah disiapkan dan siap diteken oleh Presiden.

“Perpres-nya sedang diproses,” ujarnya awal September 2025, seraya menyebut Presiden (Prabowo) telah mengetahui dan mendukung langkah ini.

Begitu Perpres terbit, Satgas lintas-lembaga bisa langsung bergerak lebih efektif memburu jaringan penyelundup hingga ke akarnya. Payung hukum tingkat Perpres ini diyakini memberi kewenangan lebih kuat untuk koordinasi antar instansi dan penerapan sanksi tegas. DPR RI pun mendesak agar regulasi ini segera difinalisasi mengingat praktik penyelundupan benur selama ini merugikan negara secara signifikan dan melemahkan upaya pembangunan ekonomi maritim.

Bisnis Gelap Benih Lobster: Jalur, Pasar Vietnam, dan Keuntungan Besar

Nilai ekonomi benih lobster yang selangit menjadikannya komoditas primadona di pasar gelap internasional. Harga satu ekor benur di tingkat nelayan lokal sebenarnya sangat rendah. Belakangan anjlok hingga Rp 2.000 per ekor di beberapa daerah karena larangan ekspor.

Pemerintah sebenarnya telah menetapkan harga patokan terendah Rp 8.500/ekor untuk benur melalui regulasi agar nelayan sejahtera. Namun kenyataannya banyak pengepul hanya berani membeli di kisaran Rp 2-7 ribu saja akibat risiko tinggi.

Ironisnya, benih lobster yang sama bisa terjual berkali-kali lipat di tangan penyelundup dan pembeli luar negeri. Dalam berbagai kasus penangkapan, aparat menaksir harga pasar gelap benur jenis lobster pasir sekitar Rp 100 ribu/ekor, dan lobster mutiara Rp 150 ribu/ekor.

Artinya, satu kantong plastik berisi 200 ekor benur bisa bernilai Rp 20-30 juta di pasar ilegal. Sebagai contoh, penyelundupan 300 ribu ekor benur yang digagalkan di Batam tahun 2022 ditaksir bernilai Rp 30 miliar oleh KKP dengan asumsi per ekor benur pasir Rp100 ribu dan mutiara Rp150 ribu.

Demikian pula tangkapan 383 ribu benur di Jambi April 2025 nilainya diperkirakan menembus Rp 38 miliar. Keuntungan kotor bagi penyelundup jelas sangat menggiurkan, mengingat modal pembelian dari nelayan mungkin hanya puluhan juta rupiah, tapi di pasar tujuan nilainya ratusan miliar.

Pasar utama benih lobster asal Indonesia adalah Vietnam, yang dikenal sebagai pusat budidaya lobster terbesar di Asia Tenggara. Diperkirakan lebih dari 100 juta ekor benih lobster per tahun keluar dari Indonesia (legal maupun ilegal), sebagian besar diselundupkan ke Vietnam untuk dibesarkan di keramba-keramba laut.

Vietnam memiliki industri pembesaran lobster yang maju. Benih lobster (fase puerulus) dari Indonesia dipelihara 6-12 bulan hingga mencapai ukuran konsumsi (±200-500 gram), lalu dijual sebagai lobster konsumsi berharga tinggi.

Seekor lobster mutiara ukuran ~300 gram dapat dijual ~Rp 600 ribu/kg di pasaran, sedangkan yang beratnya di atas 1 kg harganya tembus Rp 1,2 juta per kg. Lobster hidup kualitas ekspor bahkan dihargai lebih mahal lagi di restoran mewah Tiongkok dan negara lain. Dengan perhitungan survival rate tertentu, 1 juta ekor benur bisa menghasilkan 600 ton lobster panen senilai Rp 720 miliar bagi pembudidaya.

Tak heran, perusahaan-perusahaan Vietnam rela membayar mahal benur dari Indonesia demi mengamankan pasokan bahan baku budidaya. Permintaan tinggi inilah yang menggerakkan sindikat internasional untuk menyelundupkan benur secara masif dari Indonesia.

Selain Vietnam, Singapura dan Malaysia sering disebut sebagai jalur transit atau pembeli antara. Singapura misalnya, menjadi tempat transshipment karena kedekatan geografis dengan Riau dan Batam; benih dari Sumatra kerap dikirim ke Singapura menggunakan speedboat, lalu dialihkan ke Vietnam melalui jalur udara atau laut.

Petugas menemukan indikasi bahwa kedatangan kapal pembawa benur di Singapura kadang terjadwal resmi seolah-olah membawa komoditas legal, menunjukkan adanya kolusi atau penyamaran dokumen di rantai penyelundupan. Sementara Malaysia diduga menjadi pintu masuk alternatif ke Vietnam lewat jalur darat atau untuk memenuhi permintaan budidaya skala lebih kecil.

Di tingkat operasional, jalur penyelundupan benur terbentang mulai dari titik pengumpulan di desa-desa pesisir Indonesia, menuju kota transit (seperti Jambi, Lampung, Jakarta) lalu keluar melalui pelabuhan tidak resmi. Modus paling umum adalah menggunakan perahu nelayan atau kapal cepat di malam hari yang berangkat dari pantai terpencil.

Pesisir Jambi, dengan banyak muara sungai dan garis pantai panjang, menyediakan banyak lokasi penyusupan. “Pelabuhan tikus” – sebutan untuk dermaga kecil ilegal – di sepanjang pantai timur Sumatra menjadi titik favorit muat benur ke kapal.

Contohnya di Jambi, benur yang ditampung di Kota Jambi akan diangkut via darat ke pantai di Tanjab Barat/Timur, lalu dipindahkan ke speedboat berukuran sedang untuk dibawa ke perairan perbatasan. Dari situ, biasanya barang dipindahkan di tengah laut ke kapal yang lebih besar atau lebih cepat.

Kasus April 2025 menunjukkan model ship-to-ship transfer ini: kapal kayu pengangkut dari pantai Jambi janjian bertemu kapal cepat pengangkut akhir. Transaksi di laut lepas kerap dipilih guna mengelabui patroli – kapal pengumpan bisa segera kembali ke pantai begitu muatan pindah, sementara kapal cepat tancap gas ke perairan internasional.

Kecepatan dan kerahasiaan adalah kunci, penyelundup memilih kapal berdaya mesin tinggi (biasa disebut high speed craft) yang mampu melaju di atas 60 knot untuk mengalahkan kapal patroli. Mereka juga memakai alat komunikasi canggih dan pengawal/pemantau di lapangan. Tidak jarang terdapat oknum yang terlibat atau disuap untuk memuluskan perjalanan, mulai dari petugas lapangan hingga jaringan internasional. Semua ini menunjukkan skala bisnis benur ilegal bukan lagi level usaha kecil, melainkan kejahatan terorganisir lintas negara dengan potensi profit luar biasa besar.

Langkah pembentukan Satgas anti-penyelundupan benur oleh Prabowo Subianto dipandang sejalan dengan visi menjaga kedaulatan sumber daya hayati nasional. Prabowo melalui program Astacala menaruh fokus pada pemberantasan pencurian kekayaan laut termasuk benih lobster. Menjaga benur berarti menjaga masa depan lobster Indonesia – baik sebagai kekayaan hayati maupun komoditas strategis bagi kesejahteraan bangsa.(*)

Add new comment

Restricted HTML

  • Allowed HTML tags: <a href hreflang> <em> <strong> <cite> <blockquote cite> <code> <ul type> <ol start type> <li> <dl> <dt> <dd> <h2 id> <h3 id> <h4 id> <h5 id> <h6 id>
  • Lines and paragraphs break automatically.
  • Web page addresses and email addresses turn into links automatically.

BeritaSatu Network